Polemik Revisi UU (KUP), Kolaborasi atau Korporasi

Iklan
Polemik Revisi UU (KUP), Kolaborasi atau Korporasi
Polemik Revisi UU (KUP), Kolaborasi atau Korporasi

Oleh Azhar Sidiq S  

Direktur Eksekutif LKBHMI Cabang Jambi

Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan di Indonesia. Hal ini tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diajukan pemerintah dan akan dibahas dengan DPR. 

Dalam aturan tersebut, sektor pendidikan dihapus dari daftar jasa yang tak terkena PPN. Artinya, jasa pendidikan akan segera dikenakan PPN bila revisi UU KUP disahkan. Padahal jasa pendidikan sebelumnya tidak dikenai PPN sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai PPN. 

Berdasarkan konsepnya, pengenaan pajak pertambahan nilai atau PPN untuk lembaga pendidikan merujuk pada lembaga komersial yang hanya bisa dijangkau kelompok tertentu. Ia mencontohkan lembaga pemberi sertifikat hingga les privat. 

Akan muncul statement bahwa pemerintah bersikeras memberikan yang terbaik kepada siswa miskin melalui jalur beasiswa, tapi bagaimana dengan kelompok siswa menengah yang hanya pas-pasan. Apakah terpikirkan oleh pemerintah? 

Semestinya pemerintah menggagas konsep baru terhadap pendidikan di Indonesia. Mengingat kita masih menganut pendidikan massal, sekolah masih ‘pabrik’ , padahal itu merupakan edukasi 2.0. Kita sekarang sudah seharusnya di edukasi 4.0 yang sudah zamannya artificial intelligence (AI) bukan lagi pabrik. Tapi kenyataannya malah ingin  menjadikan pendidikan sebagai objek pajak. Padahal permasalahan utama bukan pada anggaran, tapi bagaimana membangun ekosistem yang bisa melakukan proses kolaborasi, antara pemerintah, dunia usaha, civil society, NGO bukan malah dijadikan korporasi. 

Apabila disahkan Revisi UU KUP tersebut berarti Pemerintah melepas tangan terhadap "mencerdaskan kehidupan bangsa", melalui menjadikan pendidikan ke komersialisasi dan privatisasi adalah hal yang zalim. Padahal terang dan jelas disebutkan pada pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tetapi pendidikan dasar merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayai kegiatan tersebut. 

Seperti yang tertuang Pada pembukaan UUD 1945,  "setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak" sudah semestinya pemerintah melalui lembaga legislatif berfikir jernih terkait perkembangan zaman 4.0. Anak bangsa butuh perhatian lebih, terutama pada sektor pendidikan. Mendikbud Ristek Nadiem Makarim menyampaikan bahwa "Kementerian secara konsisten terus melakukan transformasi pendidikan melalui berbagai terobosan merdeka belajar," Apakah hanya bualan belaka. 

Atas nama Rakyat Indonesia, pemerintah harus mengambil sikap tegas terkait revisi UU (KUP) untuk dikaji ulang mengingat pentingnya pendidikan dasar gratis, bagi seluruh generasi bangsa. Memberikan yang terbaik untuk generasi muda dan mencerdaskan anak bangsa adalah sebuah kewajiban tanpa ada toleran.

Iklan