OPINI: Merebut Suara Pemilih Milenial

Iklan
OPINI: Merebut Suara Pemilih Milenial
OPINI: Merebut Suara Pemilih Milenial

Oleh: *Gerry

Generasi Y atau lebih familiar dengan sebutan Generasi Milenial adalah mereka yang lahir di sekitar tahun 1981 – 1994. Generasi yang akan menjadi mayoritas di Indonesia dalam 5 – 10 tahun ke depan. Dari sudut pandang politik, jumlah generasi milenial yang cukup besar sangat menggiurkan dan harus direbut suaranya. 

Pada Pemilu Serentak Tahun 2019 berdasarkan data sejumlah lembaga riset, pemilih milenial merupakan pemilih terbesar di Indonesia yang angkanya mencapai hampir 40% dari data pemilih. Ditambah pemilih pemula mendekati 15%. Dalam Pilkada 2020 ini diperkirakan di setiap daerah jumlah pemilih milenial dan pemilih pemula mencapai sekitar 60%, terbanyak dibanding pemilih kategori lain seperti pemilih perempuan ataupun pemilih dewasa. Untuk itu merebut suara pemilih milenial adalah sebuah keharusan. 

Namun, merebut suara pemilih milenial tidaklah mudah. Berdasarkan tipologi, generasi milenial termasuk pemilih rasional dan kritis. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa data, diantaranya pertama, generasi milenial cenderung memiliki pendidikan yang cukup tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Kedua, milenial melek informasi, karena konsumsi internetnya sangat tinggi. Ketiga, milenial memiliki banyak pertimbangan dalam menentukan pilihan mulai dari kedekatan kandidat dengan rakyat, program yang bagus, bebas korupsi dan mampu membawa perubahan. Sehingga diperlukan strategi untuk merebut suaranya.

Dalam komunikasi politik, era milenial saat ini dikatakan Blumler dan Kavanagh (2009) masuk dalam generasi ketiga komunikasi politik. Generasi pertama adalah era retorika yang digerakkan kemampuan orasi tokoh politik. Generasi kedua digerakkan media mainstream atau media arus utama. Dan generasi ketiga era media online yang ditandai dengan berlimpahnya informasi dengan karakteristik komunikasi multimedia dan interaktif yang digerakkan oleh media sosial. 

Maka jika ingin mendapatkan suara dari pemilih milenial para kandidat calon Kepala Daerah tidak bisa mengandalkan pola lama dalam kampanye. Harus dipahami bahwa pemilih milenial adalah generasi ketiga dalam komunikasi politik. Sudah seharusnya para kandidat memanfaatkan media yang digunakan banyak khalayak saat ini yaitu media sosial seperti facebook, instagram, youtube, whatsapp dll. Media yang berdasarkan hasil riset We Are Social digunakan generasi milenial rata-rata 3 jam 26 menit dalam sehari.

Lalu bagaimana strategi kampanye di media sosial dengan pemilih milenial? Temuan penelitian tesis penulis terkait pemanfataan media siber oleh generasi milenial, untuk berkomunikasi dengan milenial perlu pengoptimalan konten kreatif yang bersifat multimedia agar mereka tertarik untuk mengaksesnya. Ada istilah populer saat ini yang mengatakan Content is a King, Data is a Queen and Automation is a Crown Prince. Kandidat atau tim sukses tidak bisa hanya masuk ke media sosial dan menayangkan informasi yang sebanyak-banyaknya. Karena di media sosial setiap orang bisa memilih informasi apa yang diinginkan dan mengabaikan informasi yang dianggapnya tidak menarik. 

Dalam berkampanye di media sosial substansi yang ingin disampaikan harus kuat dan matang. Konten yang disampaikan tidak perlu panjang dan di sesuaikan dengan karakteristik media sosial yang digunakan. Pola bahasa dengan pengguna media sosial harus disesuaikan, jika ingin dekat dengan anak muda atau generasi milenial maka gunakanlah bahasa anak muda. Konten yang di publikasikan tidak harus selalu membahas tentang politik. Bisa diselingi dengan konten-konten personal yang mengungkap sisi pribadi kandidat. Harus ada hal-hal yang bersifat emosional agar mendapat atensi khalayak. Baik itu melalui video pendek, story telling dan sebagainya. 

Kemudian harus ada engaging atau umpan balik. Komunikasi harus berlangsung dua arah, tidak bisa menggunakan media sosial hanya untuk kampanye tanpa ada interaksi dengan mereka. Milenial senang dilibatkan dan dimintai pendapatnya terkait isu-isu aktual, termasuk dalam politik dan pembangunan. Waktu publikasi di media sosial juga harus diperhatikan, ada prime time dimana banyak orang mengakses media sosial. Sehingga jangkauan dari postingan di media sosial bisa banyak.

Dalam berkampanye di media sosial gagasan dan narasi itu penting namun yang tidak kalah penting adalah pesan kunci. Karena utamanya kampanye adalah bagaimana mengkomunikasikan pesan agar bisa merubah pola pikir dan perilaku orang. Jadi pesan kunci harus clear, apa yang ingin disampaikan pada khalayak. Dengan demikian diharapkan para kandidat Calon Kepala Daerah dapat menarik perhatian pemilih milenial dan memanfaatkan sisa waktu sebelum Pilkada Serentak 9 Desember mendatang.


*Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas Beasiswa Kemenkominfo RI

*Koordinator Bidang Pariwisata dan Promosi Daerah KNPI Tanjab Barat

Iklan