Sapajambe, KUALATUNGKAL - Berawal dari isu borong Partai Politik dan prediksi kemungkinan munculnya empat pasangan calon pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 09 Desember 2020 mendatang membuat suhu politik di Kabupaten Tanjab Barat terus memanas.
Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Kabupaten Tanjab Barat, Suroso S. PT menyebutkan akan adanya kemungkinan persaingan tidak sehat dalam upaya mendapatkan dukungan Parpol pengusung maupun sebaliknya dari Partai untuk mengusung kandidat Pilkada yang diajukan.
"Kemungkinan jual beli Partai atau adanya mahar politik untuk mengusung ataupun diusung adalah persingan tidak sehat untuk menggagalkan seseorang kandidat untuk maju, hal ini kemungkinan terjadi di Kabupaten Tanjab Barat jika kita lihat suhu politik saat ini," ungkap Suroso, kepada Wartawan.
Menurutnya, nilai mahar politik adalah salah satu pertimbangan Parpol untuk mengusung calon yang di ajukan. Karena, partai politiklah yang punya kewenangan untuk mengusung calon, apalagi mereka tidak punya calon internal.
"Mencari partai pengusung inilah yang bisa memungkinkan komunikasi politik yang tidak wajar. Hanya saja sulit dibuktikan, karena tidak ada perjanjian tertulis atau hitam diatas putih," sebut Ketua Presidium JaDi Tanjab Barat itu.
Dijelaskannya, mahar politik tidak memiliki sisi baiknya karena sudah diluar jalur yang sehat, tapi kalau komitmen partai untuk mengusung satu pasangan tanpa ada kontrak mahar politik itu baru bisa diacungi jempol.
"Kecuali ada yang di zolimi, sudah dibayar tapi tidak didukung. Sebenarnya hal semacam ini bukan rahasia mum lagi tapi memang sudah diketahui banyak orang, hanya saja pembuktiannya sulit," jelasnya.
Selian itu, dia juga berharap kepada KPU dan Bawaslu tetap jalan sesuai aturan yang sudah ada. "Jangan lari dari itu, ketika teman-teman penyelenggara lari dari garis yang sudah ditentukan oleh peraturan, tunggu aja kehancurannya, orang tidak akan percaya lagi dengan penyelenggara," ujarnya mrngingatkan.
Lebih lanjut, menurutnya lagi, ketika kepercayaan publik dengan penyelenggara tidak ada, maka Pemilu yang diselenggarakan dianggap tidak sah di mata masyarakat. Apalagi banyak kasus kasus seperti contohnya pada KPU RI.
"Mudah-mudahan di Tanjab Barat maupun Provinsi Jambi khususnya tidak terjadi hal semacam pelanggaran kode etik bagi penyelenggara," pungkas mantan Komisioner KPU Tanjab Barat Periode 2013-2018 itu. (*)