Oleh:
Jhoni Imron
Dulu, ketika belanda ingin menggali kekayaan alam dari bumi Indonesia, menginvansi wilayahnya, hingga mengeksploitasi tanah air dan orang-orangnya, yang mereka pastikan terlebih dahulu bahwa informasi terkait bakal tanah garapan (bisa dibaca jajahan) ini sudah banyak dan benar.
Dulu, jauh sebelum Freeport bergabung dengan McMoran dan kemudian berganti nama menjadi Freeport McMoran. Sebelum Freeport menjadi pemegang kuasa pengelolaan yang pertama dan satu-satunya atas gunung emas Grasberg, Papua. Informasi yang diperoleh dari catatan penjelajahan Jean Jacques Dozy, seorang yang juga berkewarganegaraan Belanda, pada 1936, adalah pintu masuknya.
Informasi tersebut kemudian diikuti dengan penelitian dan observasi langsung petinggi Freeport waktu itu, Forbes K Wilson, manajer eksplorasi Freeport Sulphur yang kelak menjabat Presiden Director Freeport Mineral.
Bahwa informasi awal tersebut kemudian menjadi modal penting Freeport, untuk mengeruk dan menguasai hak kepemilikan atas puluhan juta ton cadangan emas ditambah lagi sekitar 2,5 persen kandungan tembaga.
Negara super power, negara-negara calon super power, dan negara maju, perlu mengetahui informasi negara-negara ketiga lewat pengiriman duta, misi hubungan luar negeri, riset, maupun lewat operasi rahasia badan intelejen.
Demikian pula sebaliknya, negara-negara kelas dua dan seterusnya, memerlukan informasi dari negara sahabat, negara pesaing, terlebih negara super power, untuk menentukan sikap dan kebijakan luar negeri.
Tema Informasi ini, jika dilihat perkembangannya di masyarakat, sejak bergulirnya kemerdekaan mendapatkan informas dan ditegaskan sebagai hak asasi, berwujud dalam kanal-kanal informasi yang merdeka baik media massa cetak, elektronik, pemerintahan yang transparan, dan seterusnya.
Belakangan, berbagi dan mendapatkan informasi turut pula menjadi bagian dari kegiatan media baru, media sosial, yang dipegang dan dijalankan individu maupun institusi tertentu.
Pada Kamis awal September lalu, dalam sebuah webinar yang membahas peran dan fungsi media, setidaknya terangkum banyak sekali persoalan dan keluhan terhadap tindak tanduk media sebagai sumber dan penyedia informasi. Banyak media dewasa ini disebut semakin "menjauh" dari semangat awal kehadirannya sebagai pencerahan dan pendidikan, menyajikan informasi yang dibutuhkan bagi kemajuan masyarakat.
Media di musim Pilkada misalnya, dianggap telah menjelma sebagai saluran promosi kandidat, hampir benar-benar mengesampingkan tanggungjawabnya sebagai media pendidikan bagi masyarakat.
Singkatnya, ada keresahan terkait informasi dan saluran informasi ini, di kalangan ilmuwan sosial. Ada semacam kerinduan agar kanal-kanal informasi yang diakses publik kembali mengutamakan misi utama dan arti penting dari kehadirannya di tengah-tengah khalayak.
Media dengan informasi yang baik ia akan menjadi katalisator bagi kemajuan suatu masyarakat. Informasi dari media menjadi materi pendidikan, sumber pengetahuan dan inspirasi bagi kehidupan yang lebih baik. Selain tugas utamanya mengawasi berbagai institusi pemerintahan yang pada hakikatnya menjalankan amanah dari rakyat, sesuai Undang-undang.
Agaknya ini lah yang diinginkan oleh orang-orang yang bisa dibilang mewakili keresahan dan kebutuhan masyarakat luas tersebut.
Kalau boleh dikaitkan dengan salah satu gambar di bokong truk yang sempat saya dokumentasikan beberapa waktu lalu, informasi yang benar itu, ia laksana air putih yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam hidup dan kehidupannya.
Sebagai penyampai dan penyedia informasi, Media (apapun bentuk dan salurannya) juga penting mengambil filosofi air putih, yang netral dan bisa memenuhi dahaga publik.
"Jadilah air putih. Tidak mewah, tapi sangat berarti".
Itu bukan kata Bang Jago. Sekali lagi, hanya tulisan di bokong truk.