OPINI: Berburu Politisi Garis Depan

Iklan
OPINI:  Berburu Politisi Garis Depan
OPINI: Berburu Politisi Garis Depan

Oleh:

Indra J Piliang.

Badan Pemenangan Pemilu

DPP Partai Golkar.


Sejak paragraf pembuka, saya perlu tegaskan bahwa saya tidak hanya berburu seorang Noel atau Immanuel Ebenezer. Setiap kali “menemukan” seseorang yang “sesuai” kriteria subjektif yang saya susun, saya langsung menyampaikan kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto. Apabila Airlangga menulis kata “Rekrut” atau hanya sekadar ikon jempol, saya langsung “mendekati” sasaran.


Yang namanya kriteria subjektif, tentu bukan hanya seorang mantan demonstran yang sudah saya kenal puluhan tahun, tapi juga seorang perwira tinggi militer atau kepolisian. Bahkan, paling banyak, adalah Pejabat Tinggi Madya yang banyak saya kenal. Sebagai anggota Tim Penjamin Kualitas Reformasi Birokrasi Nasional RI periode 2015-2019, serta menjadi Panitia Seleksi Pejabat Eselon Satu dan Dua yang dilaporkan kepada Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai Presiden Joko Widodo, tentu saya sudah mewawancarai banyak orang.


Noel menjadi fenomenal, karena ia punya banyak “musuh”. Noel adalah Ketua BTP Mania – baru saya googling – dan setelah itu menjadi Ketua Jokowi Mania. Terus terang, apapun identitas Noel setelah hari-hari yang penuh gas air mata dalam Tragedi Semanggi I dan Tragedi Semanggi II, tidak satupun yang menarik perhatian saya. Saya bertatap muka dengan Noel setelah menghadiri Rapat Terbatas “Dedengkot Relawan” dengan Calon Presiden Joko Widodo di Hotel Salak. Di antara dua orang figur, Adian Napitupulu dan Budi Arie Setiadi, Noel cengengesan dengan kemeja slim, rambut bersibak, dan muka berminyak.


“Wuih, relawan sukses! Aktivis sukses!” ujar saya. Noel cekikikan. Adian lagi menulis di depan. Budi “Muni” Setiadi duduk menguasai meja diskusi. Saya foto-foto.


Terus terang, sebagai Panglima Besar Sang Gerilyawan Jokowi yang kami deklarasikan pada tanggal 27 Juli 2018, saya merasa “terasing” sendiri. Warna kuning di antara aktivis merah. “Beringin merah,” kata Budiman Sudjatmiko.


Untuk mendukung Jokowi pribadi, saya tentu tidak merasa asing. Wikipedia masih mencatat nama saya sebagai “tokoh Partai Golkar” yang pertama kali menyatakan dukungan, ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sekalipun begitu, saya baru sempat bersalaman dengan Jokowi dalam acara “Kampanye Damai” di Hotel Bidakara, dalam pembukaan masa kampanye Pilpres 2014. Saya tegur Pak Jokowi, lalu ikut masuk ruangan VVIP, duduk di sebelah Jusuf Kalla. Yuddy Chrisnandi, Tjahjo Kumolo, Hanif Dhakiri dan lain-lain ada di meja.


“Gini, kalau mau menjadi jubir yang tak terkalahkan, pakai jurus ini,” kata saya, ketika Tjahjo Kumolo becanda tentang kualitas para jubir di televisi. Saya tentu bukan jubir resmi, berhubung hanya menjadi ronin dalam kelompok Poros Muda Partai Golkar yang dikoordinir oleh Agus Gumiwang Kartasasmita, lalu berbagi peran dengan Andi “Ucok” Sinulingga. Saya penyerang kanan, Andi Ucok sayap kiri. Bersama Roosdinal Salim dan lain-lain, saya menghadap Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie untuk menjadi ronin. Tentu, sembari melepaskan status sebagai Samurai Beringin.


Jadi, ketika Noel menyebut Pilgub DKI Jakarta sebagai salah satu jenderal lapangan tengah Basuki Tjahaja Purnama, tak ada yang penting buat saya. Bukankah saya adalah Panglima Besar Sang Gerilyawan Batavia yang setiap hari berkampanye untuk Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno? Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Pak Agung Laksono, melarang saya tampil di televisi sebagai juru bicara Anies -Sandi. Saya hanya boleh bergerak di basis. Ya, sudah, saya berkeliling membaca puisi dalam acara-acara yang dikoordinir Pendopo Anies – Sandi. Koordinasi paling sering saya lakukan dengan M Taufik, sosok yang sudah lama saya kenal, ketika memperbaharui perundang-undangan terkait DKI Jakarta.


Noel memenuhi syarat sebagai politisi garis depan. Saya mencari sosok seperti itu. Tidak baper ketika diserang, tapi bisa membangun benteng pertahanan, sekaligus mempermainkan bola di area lawan. Selama Pilgub DKI Jakarta, saya paling banyak bergaul dengan pendukung Ahok. Selain Partai Golkar berada di barisan Ahok, kawan-kawan saya yang menjadi pendukung Ahok, tidak segan-segan memberikan logistik kepada tim saya. Sebagai relawan kere dan keriput, tidak ada bohir di belakang Sang Gerilyawan Batavia. Bisa saya sebut nama-nama orang yang membantu saya itu, seperti Deddy Sitorus dan Jeffrie Geovanie. Mereka berdua adalah Ahok garis keras. Tapi mereka juga sahabat-sahabat saya, sebelum Deddy berangkat studi ke Inggris, sebelum Jeffrie masuk Partai Golkar tahun 2009.


Partai Golkar kehilangan dua kursi di DKI Jakarta dalam pemilu DPR RI lalu. Hanya Christina Aryani yang berhasil meraih kursi. Andi Rukman Nurdin, adalah teman yang saya kenal sebagai pengusaha, lalu tiba-tiba mendapat “tugas” sebagai calon nomor urut satu. Sementara, pemilih Jakarta bukanlah warga irrasional. Lebih dari 50% penduduk Jakarta berpendidikan sekolah menengah atas atau atau sarjana. Warga Jakarta pun jauh lebih independen dalam menentukan pilihan. Saya masih ingat, sama-sama berucap memilih Fauzi Bowo dalam Pilgub Jakarta 2007 dengan istri, lalu sama-sama mengaku memilih gambar Adang Dorodjatun di dalam kotak suara?


Apa alasan saya?


“Fauzi Bowo pasti menang. Tapi jangan sampai kemenangan yang diraih dalam jumlah besar. Pilihan kepada Adang adalah jalan untuk tetap memberikan tekanan kelompok oposisi kepada Fauzi Bowo dalam jumlah yang memadai,” begitu yang berdetak di hati saya.


Kehilangan dua kursi bagi Partai Golkar di Jakarta bagi saya adalah gempa skala sedang yang mampu menggoyang akar beringin. Jika gempanya lebih besar lagi, beringin bisa meranggas. Persoalannya bukan terletak dari sebutan atas Partai Golkar sebagai penista agama. Tetapi, Partai Golkar tidak mampu mengkapitalisasi basis-basis suara pendukung Ahok untuk diubah menjadi kursi. Tampilnya Andi Rukman Nurdin yang relegius, imam sholat, dan dikenal sebagai “tangan kanan” Erwin Aksa Mahmud – yang sudah muncul sebagai pendukung Prabowo – Sandi; tentu menyulitkan Partai Golkar berebut pemilih. Gerindra, PKS, dan lain-lain jauh lebih “relegius” dibanding Golkar yang “penista”.


Harapan saya, Golkar justru wajib menampilkan ciri merahnya, ketimbang kuning, apalagi relegiusnya, di Jakarta dalam pemilu legislatif 2019 lalu. Kekhawatiran saya terbukti. Jangankan meraih pemilih baru dari basis muslim perkotaan – yang sebetulnya juga bias, karena saya tahu persis begitu banyak orang-orang luar Jakarta yang bermukim di Jakarta menjelang hari pemilihan. Jakarta tidak bisa tiba-tiba “Teguh Beriman”. Rumah saya bahkan dipakai selama seminggu, guna menampung kalangan ikhwan – pun akhwat – yang ronda dakwah demi Anies – Sandi.


Noel, andai ia maju di Jakarta nanti dalam pemilu legislatif 2024, bagi saya adalah politisi garis depan yang bisa memainkan peran di kalangan pemilih. Medan Jakarta bagi Noel bukanlah medan yang asing. Darah kawan-kawan kami yang gugur atau luka selama transisi politik setelah Pak Harto berhenti, ikut membasahi jalanan Jakarta. Jauh lebih asing Medan bagi seorang Noel, ketimbang medan Jakarta. Saking kenalnya medan Jakarta, Noel bagi saya bukan lagi seorang petarung. Ia sudah menjadi bagian dari masyarakat Betawi, sebagaimana saya.


Dalam Anggaran Dasar Bamus Betawi, tercatum satu klausulan bahwa orang Betawi adalah yang lahir di Jakarta atau sudah tinggal di Jakarta selama 25 tahun. Saya sudah 29 tahun di Jakarta, berarti saya Betawi. Betawi yang bukan hanya berdasarkan statuta Bamus Betawi, namun sekaligus rasa haus akan humor. Pesilat paling tangguh Betawi adalah pelawak paling ulung. Cara Noel menghadapi Tempo, pun bercengkrama berbagi sembako dengan Sandiaga Uno, bagi saya adalah karakter dasar keBetawian seorang Noel. Tentu, Noel layak dipanggil Abang, walau kini tinggal di Depok. Ya, dalam soal tempat tinggal ini, tak ada yang bisa mengalahkan saya: warga Kecamatan Sawah Besar dan Kecamatan Tamansari sejak berusia 19 tahun.


Begitu kira-kira apa yang saya sebut sebagai perburuan karakter yang bisa berada di lini depan. Yang jelas, saya tak akan berhenti dari seorang Noel. Tadi malam, saya “bertengkar” dengan Kun Nurachadijat yang kini sudah doktor dan dekat sebuah perguruan tinggi swasta. Dia saya daulat masuk Partai Golkar. Para aktivis mahasiswa UI sezaman tentu paham hubungan saya dengan Kun. Kun adalah seorang Sukarno Muda di mata saya. Ia “penemu” metode nasionalisme relegius dalam training-training Himpunan Mahasiswa Islam. Satu-satunya orang yang bisa memecahkan metode Kun yang ia selalu gambar dalam selembar kertas kosong dengan dua garis menyilang adalah saya. Saya manaruh satu titik merah di luar kertas putih itu, lalu mengajukan pertanyaan:


“Orang yang berdiri pada titik ini, berarti bukan Islam, dan bukan juga Indonesia? Ya, sudah, lu taruh gue di titik ini. Lu mau gabungkan otak Bung Karno dengan otak Cak Nur, urusan lu,” kata saya. Kun kaget, lalu hingga kini jadi sahabat sejati saya. 


Semalam, saya mengatakan ini kepada Kun: “Satu-satunya orang yang punya ilmu tentang perjalanan ‘roh’ itu adalah elu. Nanti, siapa lagi yang percaya bahwa gue baru saja berangkat ke arena Perang Bubat, lalu berbicara langsung dengan Gajah Mada, Diah Pitaloka dan lain-lain, dengan badan yang menahan amarah?”


Kun terbahak. Betul, saya dulu dikenal sebagai orang yang anti mistisisme. Mistisisme, apalagi mitologi, bagi saha hanyalah tahayul, kurafat, dan bid’ah semata. Buku-buku yang saya baca tentu berasal dari koleksi almarhum ayah saya yang Masyumi garis keras ketika mudanya. Entah mengapa, perjalanan bersama Kun, Luthfi Musthofa, dan sahabat-sahabat saya yang rata-rata berasal dari Tanah Sunda, membawa saya kepada “pengembaraan” baru dalam melihat spiritualitas dalam mistisisme. Belum lagi lingkaran terdalam Yuddy Chrisnandi yang betul-betul Sundanese, seperti Pak Aco Santana. Pak Santana marah besar kepada saya, ketika saya katakan bahwa ayahanda Diah Pitaloka bukan dibunuh atau harakiri, melainkan “terpeleset” menginjak kotoran kuda setelah hujan turn di Bubat.


Saya katakan kepada Kun: “Satu-satunya cara untuk menjadikan Nusantara ini terbang sebagai negara gemah ripah loh jinawi adalah menyatukan Jawa! Gajah Mada membawa keris Mpu Gandring untuk menyatukan Nusantara. Itu keliru. Jawalah yang wajib disatukan. Orang Sunda tak lagi merasa beda dengan orang Banten. Orang Malang bukan lagi merasa musuhan dengan orang Kediri. Orang Madura tak lagi merasa sebagai “Jawa Pinggiran”. Entitas etnografis memang tetap perlu. Tapi yang lebih utama: hancurkan kosmologi mitos dan mistis yang memprorak-porandakan Jawa sebagai satu kesatuan mimpi dan impian. Jika lu masih ingin menjadi satu-satunya orang yang berani bertanya,’Lu dari mana barusan? Tubuh lu aja yang disini?’ Masuk Partai Golkar!”


“Cuma gue yang tahu lu. Karena gue tahu lu, Bismillah! Walau gue dulu ikut demo ‘Bubarkan Golkar’ sebarisan dengan Noel!” kata Kun.


“Lu pikir gue lupa itu? Golkar kan sudah lama bubar! Gue ajak lu masuk Partai Golkar, bukan masuk Golkar! Partai yang inshaa Allah makin moderen!” kata saya.


Kun tertawa. Ia mengirimkan riwayat hidup. Saya langsung forward kepada Ketua Umum Airlangga Hartarto, plus kepada Maman Abdurrachman, Ketua Bappilu DPP Partai Golkar.


Selesai? Belum. Izinkan saya berburu lagi di kalangan kelompok yang paling militan dengan simbol 212!!! Wallahu’ Alam…


Jakarta, 26 Juni 2020

Iklan