KPU, Pemilu dan Demokrasi

Iklan
KPU, Pemilu dan Demokrasi
KPU, Pemilu dan Demokrasi

KPU, Pemilu dan DemokrasiO

leh Yasril, MA.Pol*


Perjalanan panjang Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga yang diamanahkan langsung oleh konstitusi sebagaimana termaktup dalam Pasal 22 E angka 5 UU Dasar 1945 untuk menyelenggarakan pemilihan umum, telah mengalami peningkatan yang lebih baik dari masa ke masa. Namun demikian dari pemilu ke pemilu yang terselenggara selama lima tahunan itu tak lepas dari ragam dinamika, problematika bahkan kompleksitasnya sendiri mulai dari proses teknis penyelenggaraan hingga ke tahap hasil akhir yang berujung sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Penyelenggaraan pemilu 2024 kini telah memasuki tahapan-tahapan penting yang melibatkan banyak pihak diantaranya kini telah masuk pada tahap pemutakhiran daftar pemilih, dimana penyelenggara diuji bagaimana benar-benar menjaga hak pilih setiap warga sebagai hak konstitusional untuk dapat memilih calon-calon pemimpin mereka. Persoalan data pemilih ini misalnya dinilai menjadi salah satu problem yang tak kunjung selesai di setiap pemilu, sehingga pemilu 2024 ini menjadi taruhan bagi KPU di mata publik setidaknya persoalan data pemilih pada pemilu sebelumnya yang sering muncul tidak lagi mengemuka.

Persoalan lain yang juga sering ramai diperbincangkan ialah persoalan sistem aplikasi online yang digunakan KPU dalam membantu kerja-kerja penyelenggaraan semisal Sipol, Sidalih, Sirekap dan lain sebagainya. Kita mendukung adanya sistem digitalisasi dalam membantu kerja-kerja KPU, tetapi secara kelembagaan KPU sebagai lembaga yang telah mendapat kepercayaan publik bahkan peringkat ketiga sebagai lembaga negara paling dipercaya, seyogyanya benar-benar dapat dipercaya sesuai dengan fakta dan kenyataan di lapangan, jangan sampai terlena dengan penghargaan seremonial namun kenyataan dibalik itu memiliki banyak problematika yang tak kunjung selesai.

Belum lagi persoalan SDM penyelenggara sendiri, integritas dan profesionalitas kerja masih menjadi taruhan kelembagaan KPU terutama bagi penyelenggara di tingkat bawah seperti PPS, petugas KPPS dan Pantarlih. Lemahnya pengetahuan teknis kerja dan ketentuan yang berlaku dari petugas penyelenggara tersebut tentu saja menjadi persoalan yang dapat berimplikasi terhadap legitimasi dan hasil akhir dari sebuah penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Serta banyak lagi persoalan-persoalan lain yang harus menjadi perhatian dan PR kita bersama. 

Kompleksitas pemilu 2024 tentu saja akan semakin menantang dengan gegap gempitanya politik electoral sehingga sejak dini kita harus meluruskan cara pandang seluruh pihak yang berkepentingan dengan pemilu 2024 agar tetap menjaga kualitas pemilu kita, dan satu pandangan yang sama terhadap urgensi dan signifikansi pemilu, dengan itu konsolidasi demokrasi kita terjaga dan tetap menuju arah yang tepat dan benar. 

Pemilu berkualitas sangat terhubung dengan bagaimana komitmen partai politik agar dapat turut menghadirkan kualitas kompetisi yang sehat dan berkualitas dalam konteks keadaban demokrasi. Kita tahu ada 18 partai politik yang telah ditetapkan menjadi peserta pemilu 2024 meski dengan dinamika yang cukup panjang. Fragmentasi kekuatan politik dalam perebutan kuasa politik dari jumlah partai politik yang lebih banyak dari pemilu sebelumnya itu akan kerap melahirkan ragam fenomena sosial yang tentu saja tidak seluruhnya berkorelasi positif bagi penguatan demokrasi kita bahkan justru sebaliknya.

Tentu membutuhkan komitmen tinggi bagi peserta pemilu dan partai politik untuk berkompetisi dengan cara-cara yang dibenarkan berdasarkan aturan main yang telah ditetapkan pada UU Pemilu No 7 tahun 2017, maupun aturan turunannya baik pada peraturan KPU maupun Bawaslu. Lebih substantif lagi seluruh konstestan mestinya dapat merasakan suasana kebatinan masyarakat bahwa yang dibutuhkan dari perhelatan akbar lima tahunan tersebut ialah perbaikan akan nasib bangsa dan negara ke depan yang berdampak pada hajat hidup orang banyak bukan semata menjadi “hajatan” segelintir elit yang dinikmati oleh dan untuk elit semata.   

Dalam konteks pemilu, jika masyarakat memahami pemilu sebagai mekanisme demokrasi serta instrument politik yang dapat membawa perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik, sementara dalam praktiknya hanya menjadi lahan rebutan antara elit partai politik maka akan melahirkan distrust dan penyangkalan di tingkatan pemilih. Sehingga berujung melahirkan sikap apatisme masyarakat terhadap pemilu itu sendiri dan tak jarang kita melihat sebagian masyarakat kita acuh tak acuh terhadap pemilu dan ini kiranya menjadi salah satu faktor dari rendahnya tingkat partisipasi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.    

Keadaan psikologis ini mulai muncul di tingkat pemilih sebagai keadaan yang tidak menyenangkan, dua hal yang berbenturan dimana satu sisi pengetahuan mengenai pentingnya menggunakan hak pilih sebagai wujud partisipasi politik dalam pemilu dan ketidakyakinan terhadap kualitas pelaksanaan pemilu itu sendiri. Belum lagi pemilu disinyalir sebagai penyebab perpecahan bangsa, pemilu melahirkan perselisihan sengit antar kelompok dan golongan hingga berujung pada benturan fisik dan lain sebagainya.

Pemilu seyogyanya tidak semata-mata melahirkan fantasi-fantasi tak bermakna, tetapi harus menjadi momentum pemberdayaan dan pendidikan politik sehingga terbentuk pemilih yang rasional dan partai politik yang berkomitmen tinggi akan taat dan patuhnya mereka kepada aturan, memilih calon-calon yang berkualitas baik untuk caleg maupun capres/cawapres serta secara sadar tidak menjadi bagian dari masalah dengan menghalalkan segala cara untuk menang. 

Pemilu sebagai mekanisme demokrasi yang dinamis, seiring dengan konteks waktu, pelaku dan situasi kondisi yang melatarbelakanginya melahirkan dinamika politik yang menyebabkan proses pemilu memerlukan telaah, catatan dan rekomendasi-rekomendasi penguatan diantaranya penguatan terhadap azas-azas penyelenggaraan pemilu. Dengan itu kualitas pemilu menjadi terjamin salah satunya diukur dari penghormatan dan perlindungan terhadap kebebasan warga negara dalam menggunakan hak politiknya. Termasuk tidak adanya intimidasi, diskriminasi bagi kelompok minoritas serta mendapatkan beragam informasi alternatif yang setara. Selain itu persaingan antar peserta harus berjalan secara kompetitif, kontestan dapat bersaing secara fair dalam mendapatkan dukungan dari pemilih.

Persaingan yang tidak sehat menggunakan cara-cara yang tidak taat azas, tidak jujur menghalalkan segala cara termasuk money politic akan merusak demokrasi kita. Termasuk keberpihakan penyelenggara terhadap salah satu peserta pemilu, mendukung dan bekerja layaknya tim sukses. Nilai-nilai integritas penyelenggara pemilu yang tidak terjaga dan rusak akibat tidak berjalannya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu itu sendiri akan menjadikan kompetisi tersebut dinilai tidak sehat, tidak berkualitas dan berujung pada pemilu yang tidak legitimate. 

Sistem demokrasi yang telah disepakati bersama oleh para pendahulu kita adalah warisan kesepakatan umum yang harus dijaga bersama, sebagai sebuah instrumen yang terus dilakukan pengembangan sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Pemilihan sistem pemilu yang tepat yang dapat digunakan warga dalam memilih para wakilnya berkonsekuensi terhadap derajat keterwakilan atas hasil-hasil pemilu, serta penguatan terhadap regulasi-regulasi yang dapat menghantarkan pemilu menjadi lebih berkualitas.

Di samping itu komitmen untuk menyelenggarakan pemilu yang taat regulasi menjadi salah satu yang penting dalam konteks penguatan kualitas demokrasi electoral kita. Sebab aturan main dan sistem pemilu sering kali dianggap sebagai hal yang mudah untuk dimanipulasi serta dicurangi, apakah untuk hal-hal yang baik maupun buruk. Oleh karenanya harus dilakukan optimalisasi dari pelaksanaan regulasi untuk hal-hal yang baik tersebut bagi kualitas pemilu dan demokrasi yang lebih maju, bukan sebaliknya pemilu dan demokrasi yang jalan di tempat bahkan justru cenderung mundur.

 Penyelenggara pemilu yang kompeten dan berintegritas untuk tetap menjaga nilai-nilai demokrasi melalui optimalisasi regulasi baik KPU dan Bawaslu menjadi pilihan utama dan tidak ada tawar menawar demi menjaga kualitas pemilu. Dengan demikian demokrasi melalui jalan pemilu menjadi ajang integrasi, persatuan dan kesatuan bangsa menuju harapan besar bagi kemaslahatan bersama serta kemajuan bangsa dan negara.


*Anggota Bawaslu Kab. Muaro Jambi Periode 2018-2023

Iklan