Oleh: Siti Maidina Herdiyanti*
Pandemi Covid-19 telah melanda kehidupan masyarakat dunia setidaknya 8 bulan terakhir dan sebagian besar negara sudah memutuskan untuk melakukan pelonggaran atau membuka pembatasan (lockdown) demi menghidupkan kembali perekonomian negara dan masyarakat dengan ketentuan protokol kesehatan.
Hal ini akrab kita kenal dengan istilah era new normal atau kehidupan fase normal baru yang mewajibkan kita menggunakan masker, menjaga jarak minimal 2 meter, mencuci tangan, dan pengecekan suhu badan sebelum memasuki tempat umum atau tempat kerja.
Singkatnya, fase normal baru adalah perubahan perilaku masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas normal dengan penerapan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penyebaran Covid-19.
Pada tahap implementasinya, kebijakan ini sejatinya banyak menimbulkan polemik di masyarakat karena di satu sisi dianggap akan meningkatkan kasus Covid-19 dan sisi lainnya untuk menyelamatkan kerentanan sosial dan ekonomi mayarakat.
Lantas seberapa efektifkah jalannya kebijakan fase normal baru untuk menahan laju penyebaran Covid-19 dan memulihkan perekonomian? Mari kita menganalisis implementasinya dengan teori the rule of law dalam kajian komparatif antara Indonesia dan Thailand dimana kedua negara ini tercatat sejak Juni secara resmi telah memberlakukan fase normal baru hingga hari ini.
*Indonesia*
Di Indonesia, implementasi kebijakan fase normal apabila ditinjau dari sisi the rule of law tertuang dalam KMK nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Tempat Kerja, Perkantoran, dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Kebijakan fase normal baru menjadi langkah lanjutan yang diambil oleh pemerintah Indonesia setelah sebelumnya aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berlaku di sejumlah daerah.
Merujuk pada aturan organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), maka kebijakan fase normal baru dapat diambil apabila transmisi Covid-19 telah terkontrol dan masyarakat ikut berperan dan diberdayakan.
Sayangnya, aturan WHO tersebut tidak menjadi dasar acuan penegakkan aturan fase normal baru di Indonesia karena sejak kasus pertama Covid-19 pada bulan Maret hingga saat ini Indonesia tercatat masih mengalami angka kenaikan yang tinggi hingga kisaran 4000-5000 per hari.
Indonesia tercatat sebagai negara peringkat pertama di Asia Tenggara dengan total kasus positif pada 14 November sebanyak 463.007 dan jumlah yang meninggal sebanyak 15.148 orang.
Alasan utama pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan fase normal baru ialah untuk menahan kemerosotan ekonomi yang jauh lebih buruk, mengingat kebijakan PSBB sebelumnya menyebabkan 2.084.593 pekerja dirumahkan dan terkena PHK (Data Kemenaker pada Juni 2020).
Selanjutnya, penegakan hukum fase normal baru di Indonesia dilakukan melalui operasi yustisi yang melibatkan kesatuan TNI dan Poltri untuk mendisiplinkan perubahan prilaku masyarakat.
Sayangnya pula, operasi yustisi ini hanya mampu untuk menjaring pelanggaran hukum namun tidak berhasil mempengharui perubahan prilaku masyarakat yang partisipatif dan kolektif.
Kita dapat lihat dari operasi yustisi yang digelar di seluruh Indonesia pada 14 -18 Oktober 2020 terjaring pelanggaran protokol kesehatan yang tinggi sebanyak 7.5 juta kali dengan denda mencapai Rp 4 miliar.
Selain itu, survei AC Nielsen yang bekerja sama dengan UNICEF pada 6 kota besar di Indonesia juga menunjukkan bahwa hanya 31,5 persen masyarakat yang melakukan perilaku 3M (Menggunakan masker, Menjaga jarak, Mencuci Tangan), 36 persen melakukan dua dari perilaku 3M, 23,2 persen melakukan 1 dari perilaku 3M, dan 9,3 persen yang tidak melakukan prilaku 3M sama sekali.
Berdasarkan ulasan diatas, maka dapat kita ketahui bahwa penegakkan aturan (the rule of law) dalam implementasi kebijakan fase normal baru di Indonesia tidak berdampak signifikan menekan angka penyebaran Covid-19 dan tidak pula efektif menghasilkan perubahan prilaku masyarakat.
*Thailand*
Sementara implementasi kebijakan fase normal baru di Thailand apabila ditinjau dari aspek the rule of law merupakan langkah lanjutan setelah sebelumnya pemerintah Thailand memberlakukan lockdown (pembatasan wilayah) yang menghantam keras aktvitas ekonomi Thailand.
Akibat lockdown, pada kuartal II-2020 lalu, ekonomi Thailand tercatat minus 12,2% dan menjadi angka kontraksi penurunan paling tajam di Thailand sejak krisis finansial melanda Asia pada akhir 1990-an.
Tentunya sejalan dengan Indonesia, kebijakan fase normal baru diambil oleh pemerintah Thailand sebagai respon untuk mengatasi dampak ekonomi yang menurun tajam. Namun perbedaannya, transmisi Covid-19 di Thailand telah dapat terkontrol sejak pertengahan Mei lalu.
Laporan angka kasus baru di Thailand setiap harinya hanya berkisar 3-10 kasus dan berasal dari kedatangan warga asing. Total kasus positif di Thailand pada 14 November tercatat 3.750 dengan total kematian 60 orang. Hal ini menunjukkan perbedaan angka transmisi yang sangat jauh dari Indonesia yang masih terus naik.
Selanjutnya, implementasi kebijakan fase normal baru di Thailand diketahui berjalan efektif karena tingginya kesadaran masyarakat untuk disiplin protokol kesehatan.
Di Thailand, tidak ditemukan tingginya angka penjaringan pelanggaran protokol kesehatan dan bahkan pemerintah Thailand berhasil mengerahkan lebih dari 1 juta relawan kesehatan untuk memantau pergerakan masyarakat hingga mengawasi warga yang dikarantina.
WHO mencatat bahwa Thailand merupakan salah satu contoh negara yang baik dalam menangani krisis Covid-19 di kawasan Asia-Pasifik.
Berdasarkan ulasan diatas, maka dapat kita nilai bahwa penegakkan aturan (the rule of law) dalam implementasi kebijakan fase normal baru di Thailand berdampak signifikan untuk menekan angka penyebaran Covid-19 dan berjalan efektif bahkan berhasil mendorong perubahan prilaku masyarakat Thailand yang partisipatif, kolektif dan kolaboratif.
*Kesimpulan*
Kunci kesuksesan fase normal baru sejatinya harus diwujudkan dari upaya kerjasama yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus dapat menegakkan aturan dengan sebaik-baiknya yang berkorelasi untuk membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk menaatinya sehingga penyebaran Covid-19 dapat melamban dan secara bertahap memulihkan keadaan perekonomian negara dan masyarakat.
Fase normal baru di Indonesia masih belum dapat dikatakan berjalan efektif, karena selama lima bulan kebijakan ini masih belum mampu menggeliatkan kembali sektor UMKM, pariwisita hingga pendidikan. Sebaliknya, fase normal baru di Thailand berlangsung dengan efektif dimana kini Thailand sudah mampu menggeliatkan kembali aktivitas sektor UMKM, pariwisata dan pendidikannya.
Apakah ada evaluasi dan terobosan yang akan dilakukan pemerintah Indonesia dalam fase normal baru ini? Mari kita nantikan dan tinjau selanjutnya.
* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia