Larangan Mudik, Upaya Ekonomi dan Potensi Distribusi Pandemi Covid-19

Iklan
Larangan Mudik, Upaya Ekonomi dan Potensi Distribusi Pandemi Covid-19
Larangan Mudik, Upaya Ekonomi dan Potensi Distribusi Pandemi Covid-19

Oleh : Ir. Yoppy Setyantoro, SP

Mudik merupakan tradisi mengunjungi sanak saudara di kampung halaman yang terjadi paling tidak satu kali dalam satu tahun pada momentum Idul Fitri. Di Tanah Air, mudik sudah berlangsung turun temurun yang diprediksi sudah terjadi sejak berabad-abad lalu. Tidak hanya menjadi sebuah tradisi, Mudik juga memiliki dimensi sosial, kultural, dan spiritual yang mendalam bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, tidak jarang ada kelompok masyarakat yang berupaya bekerja untuk menabung satu tahun agar dapat menjalankan ritual mudik tahunan guna sekadar mengobati rasa rindu kepada sanak saudara di kampung halaman. 

Tahun 2021 merupakan tahun kedua Idul Fitri dalam kondisi pandemi, idealnya sudah tidak ada kebingungan lagi seperti tahun pertama menghadapi wabah covid-19 ini, faktanya sebagian masyarakat masih bingung bersikap bahkan ada kelompok masyarakat yang tidak percaya covid-19 itu ada, padahal data per tanggal 7 Mei 2021 menyebutkan di Indonesia terdapat 1.703.632 orang positif covid-19 dan 46.663 orang diantaranya meninggal dunia, angka yang bisa dikatakan tidak sedikit untuk tidak dipercaya bahwa covid-19 itu nyata. 

Tidak hanya masyarakat yang bingung, Pemerintah rupanya juga tidak satu kata dalam menyikapi pandemi covid-19. Katakan saja soal larangan mudik Lebaran. Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan larangan mudik yang tertuang dalam Surat Edaran Satuan Tugas Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021. Dalam surat itu, aktivitas mudik selama 6-17 Mei 2021 dilarang guna menekan penyebaran virus Covid-19. Fakta nenariknya adalah masyarakat kita (masyarakat +62) selalu memiliki cara menyikapi suatu larangan, banyak pemudik justru pulang ke kampung halaman sebelum tanggal pelarangan.

Pemerintah pun tidak bisa berbuat banyak terhadap pemudik yang mencuri start itu. Secara normatif, mereka yang mendahului pulang sebelum tanggal larangan diberlakukan tidak melanggar aturan. 

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi memperkirakan 10 juta orang akan mudik tahun ini. Jumlah angka mobilisasi yang sangat besar dengan tingkat resiko terjadi transmisi covid-19 di desa-desa tujuan pemudik yang selama ini kasusnya relatif terkendali. Terlebih Perpindahan penduduk dalam sekejap ini dipastikan akan menimbulkan kerumunan, baik di angkutan maupun di kampung halaman. Jika mengacu pada data libur Idul Fitri tahun 2020 tercatat terjadi kenaikan angka kasus hingga 93 persen dan peningkatan fatality rate hingga 66 persen. 

Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi ketika banyak orang dalam perjalanan yang tertular Covid-19 kemudian pulang ke kampung halaman. Mereka tanpa sadar menjadi carier covid-19 bagi sanak saudaranya di kampung. Kita perlu belajar dari kasus India, yang perayaan keagamaannya memicu meledaknya angka kasus Covid-19 hingga pelayanan kesehatan tidak mampu mengatasi lonjakan jumlah penderita yang dirawat maupun meninggal. 

Celakanya, pemerintah kurang konsisten dengan penanganan covid-19. Meski melarang mudik, pemerintah saat ini masih membolehkan obyek wisata dan pusat perbelanjaan tetap beroperasional. Meskipun pengunjung hanya berasal dari daerah sekitar namun tetap saja Berwisata dan berbelanja secara massal pun tetap akan memicu kerumunan dan berisiko terjadinya penularan virus. 

Pemerintah lokal juga telah menerbitkan peraturan daerah (perda) yang mengatur penyelenggaraan usaha dimasa pandemi, namun masih kurang efektif karena penekanannya hanya berada pada punishmen (sangsi) berupa denda bahkan pencabutan izin usaha, namun tidak terdapat reward (penghargaan) bagi pengusaha yang menjalankan dan menyiapkan peralatan penunjang protokol covid-19 ditempat usahanya, tidak mudah bagi pengusaha menambah biaya operasional pencegahan penyebaran covid-19 ditengah perekonomian dan daya beli masyarakat yang menurun akibat pandemi covid-19. 

Ini beberapa potret kalang kabutnya pemerintah dalam mengatasi pandemi, antara keras menjaga penyebaran covid-19 tetapi juga hendak berupaya memulihkan ekonomi. 

Hendaknya pemerintah tegas dalam membuat dan menerapkan kebijakan, dan masyarakat hendaknya bijak dalam menyikapi kondisi pandemi seperti saat ini. Sikap tidak tegas pemerintah justru berisiko memunculkan pro dan kontra secara konsep dimasyarakat bahkan berpotensi menimbulkan pembangkangan dan acuh tak acuh dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah kedepan. 

Bagaimanapun, tetap sulit menegakkan protokol kesehatan sambil menjaga ekonomi tetap terus berputar, diperlukan apresiasi bagi para pihak yang berkomitmen menjalankan ekonomi dengan tetap menjalankan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker. Semoga seluruh upaya yang dilakukan tidak sia-sia karena ketidak adaan ketegasan dalam bersikap, jangan sampai kesehatan memburuk dan ekonomi pun terpuruk, terlebih Negeri ini juga menghadapi kemunculan varian baru seperti D164F, B1117 dan N439K yang mengincar keselamatan, kesehatan dan perekonomian bangsa.


Ir. Yoppy Setyantoro, SP

Masyarakat UMKM Jambi

Iklan