MENYELAMI PEMIKIRAN HANS KELSEN: MERENUNGI HUKUM DALAM FILSAFAT ILMU

Iklan
MENYELAMI PEMIKIRAN HANS KELSEN: MERENUNGI HUKUM DALAM FILSAFAT ILMU
MENYELAMI PEMIKIRAN HANS KELSEN: MERENUNGI HUKUM DALAM FILSAFAT ILMU

Perenungan alam filsafat tentu menghadirkan alam pemikiran yang tidak pernah putus. Ibarat merundingkan sesuatu alam filsafat merupakan rundingan yang tiada titik temu. Bukanlah keegoisan berfikir membuat perdebatan dan pembahasan alamm filsafat tidak kunjung menemui titik temu, tetapi saking luaasnya alam berfikir, saking merdekanya nalar untuk menerjemahkan, saking kritisnya alam berfikir serta saking fundamentalnya dasar berfikir. Bagi banyak orang yang mungkin awam dalam memandang filsafat “bisa saja” berfikir bahwa filsafat adalah persoalan sia-sia mengingat ilmu praktis telah ada saat ini dan tidak perlu pengkajian mendalam lagi mengingat sifatnya yang siap diaplikasikan. Namun ada yang perlu dipahami bahwa berfilsafat justru menjadi dasar lahirnya suatu ilmu pengetahuan dalam suatu perenungan panjang dan kemudian berkembang. Sehingga tidak salah pandangan dalam konteks akademis bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan.

Begitu pula dengan keilmuan hukum yang tentu tidak dapat dilepaskan dari anasir kefilsafatan mengingat konteks keilmuan tidak terlepas dari perenungan-perenungan. Mulai dari perihal untuk apa itu hukum, apa itu keadilan dan fungsinya bahkan sampai kepada pertanyaan ekstrim yang terkesan meragukan keilmuan ilmu hukum yakni pertanyaan terkait dengan apakah lmu hukum itu ilmu pengetahuan?. Tidaklah salah keraguan tersebut mengingat paradigma sebagian orang yang menadang ilmu hukum sebagai sesuatu yang normatif dimana nilai-nilainya terikat dan tidak terpengaruhi oleh anasir-anasir lain sehingga tentu menjadi pertanyaan bagaimana menguji keilmuannya jika nilainya sangat abstrak apalagi jika melihat dari sisi keadilan yang tentu menjadi pertanyaan utama adalah bagaimana untuk mengukur suatu keadilan secara nyata?.

Salah satu pandangan yang menarik adalah pandangan Hans Kelsen. Hans Kelsen merupakan salah satu ahli hukum dalam perkembangan sejarah ilmu hukum dimana Hans Kelsen sangat terkenal. pada tahun 1934. Bahkan sanjungan dari seorang teoritisi hukum asal Amerika Rescoe Pound yang dalam pandangannya menulis tentang Kelsen dimana Pound memandang bahwa Kelsen adalah seornag ahli hukum yang sangat terkenal serta tentunya tidak perlu untuk diragukan lagi pada masa itu. Lalu kemudian seperempat abad kemudian, ahli hukum lainnya asal Inggris H.L.A Hart yang dalam hal ini juga menggambarkan Kelsen sebagai seorang penulis yurisprudensi analitis paling menggugah di zamannya. Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, sanjungan terhadap Kelsen, bahkan seperempat abad berikutnya ahli filsafat dan logika asal Finlandia bernama Georg Hendrik von Wright membandingkan Kelsen dengan Max Weber; dalam pandangannya tersebut Wright menulis bahwa dua pemikir inilah yang paling mempengaruhi ilmu sosial di abad ini.

Dalam pandangannya, Kelsen memandang Hukum sebagai suatu sistem norma, dalam pandangannya Kelsen memandang sebuah sistem yang dalam konsepnya berada pada posisi didasarkan kepada keharusan-keharusan dalam makna yakni apa yang seharusnya atau lebih dikenal dengan das sollen. Dalam pandangannya tersebut Hans Kelsen memandang konsepsi norma hukum merupakan suatu produk yang terlahir dari pemikiran manusia yang pada dasarnya sifatnya sebagai sesuatu yang deliberatif. Di samping itu Kelsen juga memandang bahwa suatu konsepsi akan dapat menjadi suatu norma sepanjang konsepsi tersebut memang dikehendaki untuk menjadi norma, dimana dalam hal untuk melihat penentuannya didasarkan pada moralitas maupun nilai-nilai yang baik. Oleh karena itu dapatlah dipahami bahwa pertimbangan-pertimbangan yang melandasi sebuah norma bersifat meta yuridis. 

Lebih lanjut terhadap pandangan tersebut terhadap suatu konsepsi yang bersifat metayuridis tersebut bersifat das sollen atau sesuatu yang seharusnya, namun yang patut menjadi catatan adalah sesuatu tersebut belum menjadi hukum yang berlaku serta dalam hal ini mengikat kepada masyarakat. Bisa dikatakan bahwa dalam pandangan Hans Kelsen norma hukum selalu diciptakan melalui suatu kehendak ataupun suatu keinginan. Sehingga lebih lanjut sehubungan dengan keberadaan norma yang dinormakan tersebut akan bersifat mengikat kepada masyarakat diaman apabila norma-norma yang dimaksudkan tersebut senantiasa dikehendaki untuk menjadi suatu hukum serta dalam hal ini norma tersebut mesti dapat dituangkan dalam bentuk yang bersifat tertulis, dimana ketentuan yang dimaksud secara tertulis disahkan oleh suatu kelembagaan yang memang diberikan kewenangan dimana di dalam ketentuan yang dituangkan tersebut memuat perintah. Sehubungan dengan pendapat Hans Kelsen tersebut dapat dipandang bahwa ada suatu kecenderungan pikiran Kelsen bahwa positivisme hukum memandang suatu pembicaraan moral, nilai-nilai yang telah selesai dan final ketika nilai-nilai tersebut telah sampai pada pembentukan hukum positif. 

Bisa dikatakan pandangan ungkapan yang sangat terkenal dari Hans Kelsen yakni: hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, tetapi karena hukum itu telah ditulis dan disahkan penguasa. Inilah salah satu teori yang diperkenalkan Hans Kelsen dengan nama Teori Hukum Murni. Terlepasnya dari nilai baik dan adil dalam Positivisme hukum dalam pandangan Penulis justru keluar dari spirit hukum itu sendiri bagaimana untuk membuat suasuatu yang baik dan adil. Jika positivisme yang terlalu tentu akan mengurangi esensi dari hukum itu sendiri dimana hukum itu sendiri bertujuan untuk menciptakan keadilan. Bisa dikatakan jika positivisme yang dianut sedemikian rupa bisa dikatakan hukum justru dipandang seperti dengan kaca mata kuda. Hukum tidak dipandang melihat esensi utama hukum itu sendiri, dan bahkan seperti makhluk hidup yang kehilangan ruhnya sendiri.

Sehendaknya hukum justru lebih mengedepankan tujuannya itu sendiri bukanlah prosedural berlebihan dimana jika terlalu positivistik tentu hukum akan menjadi suatu yang formalistic. Bagaimana menegakkan aturan-aturan hukum  lebih menekankan kepada bagaimana mencapai tujuan-tujuan hukum itu sendiri yakni mencapai keadilan. Jika positivisme hukum terlalu di kedepankan sudah barang tentu ruang-ruang berfikir terutama terhadap para pengadil untuk menemukan hukum dan bahkan menggali keadilan itu sendiri. Karena hukum hanya dipandang bagaimana aturan-aturan hukum yang tertulis dapat ditegakkan dan dijalankan saja. Namun tujuannya terlupakan. Ibarat sebagaimana pandangan sebelumnya justru hukum seperti jasad yang kehilangan ruhnya. Namun apapun itu keberadaan pandangan kefilsafatan tentu tidak merupakan suatu yang mutlak untuk dibenarkan dan dipatuhi mengingat keberadaan pendangan ini justru membuka ranah diskusi berikutnya.


Penulis : Yanita Kusuma, S.H., MH. (Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi) NIM P3B120004

Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu Prof. Dr. Elita Rahmi, S.H., MH.

Iklan