SAPAJAMBE.COM - Indonesia kembali dikukuhkan sebagai negara paling dermawan di dunia versi World Giving Index 2021. Laporan World Giving Index (WGI) yang dirilis Charity Aid Foundation (CAF), menempatkan Indonesia di peringkat pertama dengan skor dari 69%, naik dari skor 59% di indeks tahunan terakhir yang diterbitkan pada tahun 2018. X
The World Giving Index (WGI) adalah laporan tahunan yang diterbitkan oleh Charities AidFoundation (CAF), menggunakan data yang dikumpulkan oleh Gallup, dan memeringkat lebihdari 140 negara di dunia berdasarkan seberapa dermawan mereka dalam menyumbang.
Laporan WGI 2021 yang dirilis pada 14 Juni 2021 menyebutkan, Indonesia menempati 2 peringkat teratas dari 3 katagori atau indikator yang menjadi ukuran WGI, yakni menyumbang pada orang asing/tidak dikenal, menyumbanguang dan kegiatan kerelawanan/volunteer. Hasil penelitian CAF menunjukkan lebih dari 8 (delapan) dari 10 orang Indonesia menyumbangkan uang pada tahun ini, sementara tingkat kerelawanan di Indonesia tiga kali lipat lebih besar dari rata-rata tingkat kerelawanan dunia.
Menanggapi laporan WGI 2021, Direktur Filantropi Inonesia Hamid Abidin mengatakan pandemi dan krisis ekonomi nampaknya tak menghalangi masyarakat Indonesia untuk berbagi.
"Pandemi dan krisis justru meningkatkan semangat solidaritas masyarakat untuk membantu sesama. Yang berubah hanya bentuk sumbangan dan jumlahnya saja. Masyarakat yang terkena dampak tetap berdonasi uang meski nilai sumbangan lebih kecil, atau berdonasi dalam bentuk lain, seperti barang dan tenaga(relawan). Terbukti di beberapa Lembaga social dan filantropi jumlah donasi tetap naik, meski peningkatannya tidak setinggi pada saat normal," ujar Hamid Abidin, Rabu (16/6/2021).
Laporan WGI 2021 menunjukkan, Indonesia berhasil mempertahankan posisinya di peringkat pertama di tengah pandemi dibandingkan negara-negara lain yang posisinya jatuh dalam WGI karena penerapan kebijakan penguncian dan pembatasan wilayah.
Sebagian besar negara Barat yang biasanya menempati 10 Besar WGI merosot peringkatnya kemungkinan karena efek pandemi. Misalnya, Amerika Serikat jatuh ke posisi 19 dunia, setelah sebelumnya secarakonsisten ditempatkan di Top 5. Sementara Irlandia, Inggris dan Singapura merosot dari peringkat5 dan 6 ke peringkat 26 dan 22.
Hamid menilai, keberhasilan Indonesia untuk mempertahankan posisinya sebagai bangsa pemurah didukung oleh beberapa faktor; pertama, kuatnya pengaruh ajaran agama dan tradisi lokal yang berkaitan dengan kegiatan berderma dan menolong sesama di Indonesia.
Hal ini terbukti dari temuan WGI yang menunjukkan bahwa donasi berbagi keagamaan (khususnya zakat, infaq dan sedekah) menjadi penggerak utama kegiatan filantropi di Indonesia di masa pandemi. Kedua, kondisi ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan negara-negara lain.
Kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia dinilai lebih baik sehingga tidak berdampak buruk pada kondisi ekonomi. Ketiga, pegiat filantropi di Indonesia relatif berhasil dalam mendorong transformasi dari kegiatan filantropi konvensional ke digital.
Berbagai kendala dalam penggalangan donasi dimasa pandemi karena adanya pembatasan interaksi dan mobilitas warga berhasil diatasi sehingga tidak terlalu berpengaruh pada kegiatan filantropi. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah donasi di lembaga filantropi yang menggunakan platform digital, khususnya pada saatpandemi.
Keempat, meningkatnya peran dan keterlibatan kalangan muda dan key opinion leader/influencer dalam kegiatan filantropi. Keterlibatan mereka membuat filantropi bisa dikemas dan dikomunikasikan dengan popular ke semua kalangan, khususnya anak muda.
Namun, di tengah prestasi yang menggembirakan itu, ada sejumlah PR yang harus diatasi dalam rangka memajukan filantropi Indonesia. Hamid menyebut potensi filantropi di Indonesia yang cukup besar belum tergalang optimal karena pola menyumbang masyarakat yang masih directgiving dan belum terorganisir dengan baik.
Masyarakat lebih suka menyumbang langsung keindividu penerima manfaat dibandingkan ke organisasi sosial.
"Donasi untuk kegiatan keagamaan, penyantunan dan pelayanan sosial juga masih dominan dibandingkan program-program yang sifatnya jangka panjang, seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, pelestarian lingkungan, dsb. Selain itu, pengembangan filantropi di Indonesia belum didukung dengan data yang memadai karena pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya belum punya kesadaranpentingnya data dalam pengembangan filantropi," pungkas Hamid.(*)
Sumber: rri.co.id