Oleh : Margiono*
Revolusi Industri 4.0 yang diperkenalkan pada Hannover Fair 2011 pertama kali merupakan trend kemajuan teknologi disemua sektor. Menteri Perindustrian Airlangga Hartato menjelaskan apa yang dimaksud dengan revolusi industri 4.0 pada Detik Finance, April 2018 "Saat ini yang namanya revolusi industri ke 4 dimulai dengan revolusi internet yang dimulai pada tahun 90-an, nah tahun 90-an belum tahu kalau internet efeknya akan seperti hari ini. Hari ini seluruh negara di dunia baru melihat apa efek dari Internet of things‚¬. Penjelasan ini membuat kita merasa wajar jika saat ini seluruh dunia mengembangkan diri dengan berbagai kemajuan teknologi.
Imbas dari keadaan ini adalah Indonesia harus merespons perubahan tersebut. Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia tidak dapat berkembang secara linear. Artinya masih ada masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, yang baru belajar teknologi melalui internet. Keterpaksaan dalam mengenal internet menjadikan arus informasi dengan mudah sampai kepada masyarakat. Informasi ini tentu dengan mudah mempengaruhi pola pandang masyarakat mengenai suatu hal.
Merujuk pada hasil survei CIGI-Ipsos 2016, sebanyak 65 persen dari 132 juta pengguna internet di Indonesia percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya tanpa cek dan ricek. Akibatnya, penyebaran konten negatif, seperti ujaran kebencian, berita bohong, intoleransi dan radikalisme menjadi ancaman besar saat ini. Maraknya penyebaran konten negatif di kalangan generasi muda patut menjadi perhatian guru, dan sekolah. Generasi muda dengan rata-rata usia sekolah merupakan sasaran mudah, baik sebagai penerima maupun sasaran untuk ikut menyebarkan hoaks. Pengguna media sosial Indonesia merupakan salah satu masyarakat desa yang berkembang tanpa melewati tahapan literasi.
Masyarakat yang tingkat literasinya rendah merupakan tempat yang sempurna bagi perkembangan berita-berita hoax.
Terjadi beberapa kasus dimana remaja menjadi tindak pelaku dan penyebar berita hoaks. Kita mengingat kembali pada maret 2019 lalu dimana Penyidik Direktorat Siber Badan Reserse Kriminal Polri bersama polda-polda di daerah menangkap 10 pelaku ujaran kebencian serta penyebar berita bohong atau hoaks terkait Aksi 22 Mei 2019 dan diantaranya adalah remaja yang menyebarkan menyebarkan ujaran kebencian dan hasutan dengan narasi terjadi persekusi terhadap habaib. Kasus ini hanya satu dari banyak kejadian pemberitaan hoaks yang melibatkan generasi muda.
Pemuda dengan usia sekolah dapat dikatakan sebagai agent of future change bagi pedesaan. Mempersiapkan generasi ini akan memiliki dampak positif bagi persiapan pembangunan Indonesia. Penguatan wawasan dan karakter kebangsaan menjadikan desa akan terlindungi dari berbagai isu maupun berita kebohongan meskipun jauh dari pihak yang berwenang. Misalkan saja, suatu desa membutuhkan waktu jauh untuk mendapat sosialisasi dari pihak terkait, maka penyaringan berita akan sangat bermanfaat dari menyebarnya berita bohong. Penggiatan literasi pada masyarakat muda didesa akan menjadi benteng pertahanan sendiri pada wilayah tersebut.
Literasi sebagai gerakan membaca merupakan suatu kegiatan yang dipandang mampu dalam memberikan pengetahuan luas. National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai ‚¬Å“kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.‚¬ Secara lebih sederhana, literasi dapat diartikan sebagai budaya membaca dan menulis dikalangan sosialnya.
Disisi lain, Penelitian The World's Most Literate Nations (WMLN) tentang tingkat literasi dunia tahun 2016, menempatkan Indonesia pada urutan 60 dari 61 negara yang disurvey. Indonesia berada satu tingkat diatas Botswana, negara kecil di benua Afrika yang berpenduduk 2,1 juta jiwa. Kenyataan ini sungguh memprihatinkan mengingat literasi akan memberikan pengetahuan dan pengalaman yang luas bagi pelakunya.
Fenomena budaya membaca dan menulis , jika kita mengacu lagi pada penelitian Literasi, bahkan di tingkat yang paling dasar, masih menjadi persoalan di Indonesia. Kemampuan membaca masyarakat Indonesia relatif sangat rendah. Menurut riset UNESCO 2012, hanya 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang membaca buku. Bukan suatu yang salah jika menyebut ini sebagai bencana pendidikan. Keadaan ini bagaikan bencana-bencana alam yang terjadi di Indonesia belakangan seperti tsunami, gempa bumi, dan bencana alam lainnya yang meluluh lantakkan hunian masyarakat yang meninggalkan kepiluan yang mendalam untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Sudah sepatutnya menuntut keseriusan dalam membentuk budaya membaca dari sekolah baik dipedesaan sebelum menyebar dan mematen pada generasi-generasi yang akan datang Menimbulkan budaya membaca dapat dimulai dengan mewajibkan membaca bagi seluruh siswa pedesaan sebagai generasi penerus. Membaca buku menjadi hal yang harus dilakukan siswa setiap saat agar dapat menambahkan wawasan bagi siswa sehingga dapat melawan berita hoaks. Sekolah sebagai rumah pendidikan desa memiliki kewenangan untuk membentuk budaya membaca dengan bentuk kebijakannya.
Melalui guru, sekolah dipedesaan sudah sepatutnya menggunakan kegiatan literasi, tidak hanya buku, tetapi media agar dapat menangkal berita bohong yang beredar. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat keberadaan sekolah yang telah ada hampir disetiap desa.
Seluruh akademisi menyetujui bahwa buku mampu menghilangkan dahaga kehausan pengetahuan bagi semua pembacanya. Meskipun berwujud lembaran kertas yang disatukan, buku merupakan cakrawala dunia dalam genggaman. Buku mampu mengubah dunia dengan kata-kata dari setiap barisnya. Setidaknya itulah yang dibuktikan oleh waktu dalam sejarah dimana banyak pemimpin-pemimpin dunia mengambil arah pandangan mereka dari apa yang mereka baca.
Sedemikian besarnya pengaruh buku, membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang diwakili Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Masyarakat (Dikmas), Kemendikbud, Harris Iskandar mencanangkan Gerakan Indonesia Membaca yang Bertepatan dengan puncak peringatan ke-50 Hari Aksara Internasional (HAI) 2015. Bukan suatu program yang tiba-tiba muncul tanpa melihat pentingnya buku untuk pengetahuan. Gerakan ini tentu akan sangat bermanfaat jika diawali dengan sekolah dengan guru sebagai pendamping siswa.
Disinilah sepatutnya guru mengambil peran dalam meningkatkan literasi dikalangan generasi muda. Tidak terbatas pada guru bahasa Indonesia, namun kesemua insan yang telah memutuskan untuk berkarir menjadi guru harus turun menggalakkan literasi dalam lingkungannya. Sementara itu, Guru yang ditugaskan pada daerah pedesaan misalnya akan memiliki tantangan yang lebih mendalam ketimbang yang berada didaerah perkotaan. Sarana dan prasarana yang dikatakan pas-pasan mendekati kurang akan terus memicu daya pikirnya untuk berkreasi dalam menyampaikan materi tanpa kehilangan esensi kemajuan informasi. Belum lagi kekuatan teknologi mengharuskan siswa menguasai teknologi membuat guru ambil langkah giat literasi agar siswanya memiliki pengetahuan cukup bahkan siap untuk dicurahkan dalam dunia kesehariannya.
Guru yang profesional tentu memiliki 4 standar kompetensi yang telah ditetapkan oleh Undang undang guru dan dosen nomor 14 tahun 2015 yaitu, Kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dari kesemua itu, kemampuan literasi merupakan kompetensi profesional guru. Namun kenyataannya, guru yang telah ditunjangi dengan dana keprofesionalnya ternyata belum mampu menunjukkan budaya literasinya.
Upaya yang dapat dilakukan adalah guru pedesaan dapat memberikan pilihan bacaan yang bervariasi bagi siswa. Ketidakadaan pustakawan memaksa guru berfikir kreatif untuk juga paham akan konten isi buku yang bervariasi.
Dengan bervariasinya bahan bacaan akan membuat banyak pilihan bagi siswa dalam memperkaya pembendaharaan literasinya. Hal lain yang bisa diwujudkan oleh guru adalah memanfaatkan pajangan kelas atau mading kelas.
Kewajiban literasi lain dapat dilakukan guru pedesaan melalui tahap pembelajaran kelas dengan menugasi siswa banyak mencari referensi dari buku, internet, dan sumber sekitar guna megembangkan potensi diri siswa. Selain itu, pemanfaat media sosial sebagai media pemberian materi dirasa efektif mengingat siswa akan tertarik membacanya. Pengalaman literasi yang diberikan guru kepada siswa akan meningkatkan kemampuan untuk mengakses, mengolah, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas untuk memecahkan masalah yang bisa dilakukan dengan berbagai aktivitas antara lain membaca, melihat, mengamati, menyimak, menulis, dan berbicara secara baik. Dapat dikemukakan jika siswa sebagai generasi muda dapat memfilter informasi yang masuk sehingga dengan sendirinya akan memutuskan berita benar ataupun hoaks dengan pengetahuan yang ada.
Berdasarkan pemaparan diatas, ada beberapa upaya guru di daerah pedesaan dalam meningkatkan budaya baca guna menangkal berita hoaks, diantaranya : 1. Menjadi contoh Ing Ngarsa Sung Tuladha, inilah kalimat awal dari slogan pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Sejatinya kalimat ini harus terpatri dari setiap guru untuk menjadi contoh bagi siswanya untuk terus meningkatkan budaya membaca dan menulis. Tidak terkecuali bagi guru pedesaan yang memang banyak keterbatasan fasilitas.
2. Sadar akan pentingnya literasi dan berteknologi Kesadaran guru mengenai kompetensi yang ada pada dirinya akan membuat guru menambah terus apa yang dimiliki. Guru yang profesional akan terus membagikan apa yang dimiliki melalui tulisan-tulisan yang benar dan berkualitas. Meskipun berlokasi pedesaan, guru abad 21 harus terus menggunakan teknologi dalam pembelajaran. Pemanfaatan media online ataupun media sosial dalam pembelajaran akan terasa bermakna bagi siswa yang terus berkembang. Dengan demikian, akan tercipta literasi media pada siswa.
3. Turut serta dalam kontrol penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1 tahun 2018 tentang Juknis BOS, mencamtumkan dengan jelas bahwa 20% dari total dana satu tahun penggunaannya adalah untuk pembelian buku. Peraturan ini disambut baik dimana akan memberikan dukungan positif dari budaya membaca.
4. Sebagai pembangkit dan pendorong terhadap rekan seprofesi dan kelompok baca yang sudah ada dimasyarakat yang selama ini belum berfungsi dan berusaha untuk memfungsikannya.
Siswa pedesaan tentu juga terkena dampak dari kemajuan informasi dan teknologi. Perihal baru tanpa dibarengi dengan pengetahuan yang tepat, tentu akan menimbulkan penyelewengan. Melalui literasi, siswa pedesaan akan memiliki pengetahuan yang luas.
Membaca buku akan meningkatkan generasi muda dalam mengolah informasi yang didapat dari dunia maya. Oleh karenanya guru pedesaan memiliki peran yang penting sebagai pendidik dalam membekali generasi muda menangkal berita hoaks.
*Penulis adalah guru di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.